Menulis. Itulah yang sangatku sukai. Sebuah cerita yang berakhir bahagia yang selalu ingin ku buat. Mungkin banyak orang berfikir bahawa seorang penulis adalah seorang pemimpi yang tidak jelas masa depannya. Namun bagiku menjadi seorang penulis adalah sebuah cita-cita dimana harapan untuk menjadikan tulisan-tulisan itu berubah menjadi sebuah kenyataan itu ada. Bodoh memang. Tapi bukankah sebuah mimpi berawal dari kebodohan? Apa bedanya mimpi menjadi seorang penulis dengan mimpi menjadi seorang dokter? Bukankah mereka sama-sama memiliki peran penting dalam masyarakat?
Jika seorang dokter memiliki peran untuk menyembuhkan penyakit masyarakat maka penulis berperan menyembuhkan kejenuhan masyarakat. Jika dokter berperan memberikan motivasi terhadap pasien maka penulis berperan memberikan sebuah ide untuk para pembacanya. Dan jika dokter mengabdi pada sebuah rumah sakit, maka penulis? Tentu saja mengabdi pada penerbit. Hahahahaha. Tidak jauh berbeda bukan? Sama-sama memilliki peran penting.
"Berhentilah melamun." Tiba-tiba aku merasakan bahuku ditepuk dengan keras dari belakang.
"Astaga! Berhentilah membuat orang terkejut seperti itu!" Kataku yang terkejut dengan tingkah laku sahabatku yang satu ini.
"Itu salahmu sendiri. Pagi-pagi seperti ini sudah mendarat di dunia lamunanmu itu," Balasnya yang tak mau kalah.
"Aishh, kau ini cerewet sekali." Gerutuku.
"Luciana William yang terhormat. Berhentilah mengatakan bahwa aku ini cerewet. Kau tau itu sangat menggangguku."
"Allice Steward yang sama terhormatnya denganku. Kau fikir kau tidak menggangguku? Kau jauh lebih menggangguku."
"Haaahh, sudahlah percuma saja aku berbicara denganmu." Katanya sambil menarik kursi dari meja yang ada di sebelahku. "Bagaimana Kabarnya?" Tanyanya memulai.
"Kabar siapa?" Tanyaku bingung.
"Ayolah jangan pura-pura tidak tau."
"Allice, aku benar-benar tidak tau siapa yang sedang kau bicarakan. Tidak bisakah kau mengatakannya saja?"
"Ck, kau ini. Siapa lagi kalau bukan Jackson."
"Oh dia." Kataku yang tidak berminat membahas pria satu itu.
"Ya, bagaimana kabarnya?" Tanyanya sekali lagi, kali ini lebih antusias.
"Entahlah, aku tidak tau." Jawabku malas.
"Tidak tau bagaimana? Jangan katakan kau tidak tertarik lagi denganya?" Aku hanya mengedikan bahu tidak peduli. "Astaga Luciiiii! Kau ini benar-benar sudah tidak waras ya?! Pria setampan Jackson kau tinggalkan begitu saja?! Haaahh sulit dipercaya!"
"Tolong diralat. Aku tidak meninggalkanya, tapi hanya sudah tidak tertarik lagi dengannya. Lagi pula kami tidak mempunyai hubungan yang spesial. Kami hanya teman. Itu saja tidak lebih." Kataku mencoba menjelaskan sekaligus meralat ucapan sahabatku yang asal bicara itu.
"Sama saja. Sebenarnya pria seperti apa yang kau cari? Kenapa setiap kau dekat dengan satu pria tapi belum sampai setengah bulan mereka sudah kau buang jauh-jauh?" Kini mata Allice menelitiku. "Kau masih normalkan?"
"Apa?! Tentu saja masih! Memangnya tidak boleh jika aku bosan dan tidak tertarik lagi dengan mereka?" Tanyaku yang semakin kesal dengan kata-kata asal Allice.
"Memang tidak, tapi kau terlihat seperti gadis kejam jika seperti itu terus."
"Hahahaha. Jangan berlebihan. Aku tidak sekejam itu, kau tau? Mereka itu hanya segelintir manusia tidak berguna, yang menganggap semua wanita itu adalah mainannya." Aku mencebik kesal. "Dan menurutmu aku lebih kejam dari mereka?! Sangat Allice!"
Allice melototiku dengan kesal. "Dan kau hanya menjadi pahlawan bagi para wanita yang pernah disakiti mereka? Begitu maksudmu?"
Aku mengangguk mantap. "Yupp!!!"
"Wow, kau memang seorang pahlawan sejati, Luci. Aku sangat mengagumimu." Kata Allice sok dramatis. Tapi tidak lama kemudian... "Hell!!"
Aku hanya tertawa melihat tingkah Allice. Yah, dia memang sahabatku yang paling penuh drama dibandingkan dengan Anna dan Helena yang notabene adalah sahabatku juga. Terkadang jika aku sedang memiliki masalah dan kemudian menjadi penghancur segala suasana sekitar, Allice lah yang akan menjadi manusia setengah jin yang menghiburku. Kau tahu? Semacam siluman yang akan berubah-ubah, menjadi Shincan dalam salah satu dari banyaknya kartun jepang di televisi misalnya. Allice tidak akan segan-segan berubah dan memperagakan seolah-olah dia adalah si shincan yang beralis tebal itu. Sangat menjijikan sekaligus menghibur. Aku senang-senang saja Allice melakukan hal itu. Tapi tetap saja tingkahnya itu sangat memalukan. Bak orang gila yang terobsesi menjadi ratu drama. (Halah ngaco authornya.)
"Wahwahwah! Sepertinya si ratu drama kita dibuat kesal lagi oleh sang ratu imajinasi."
WHAT THE HELL!!! Aku tau pasti siapa yang mengucapkan kata-kata laknat itu. Dan benar saja saat aku menoleh kearah pintu masuk kelas Helena sedang berdiri dengan Anna disampingnya.
Aku mencebikan bibir kesal. "Tutup mulutmu ratu irit!"
Helena hanya tersenyum sinis mendengar ucapanku yang menjulukinya sebagai ratu irit. Dan aku hanya balas tersenyum sinis seolah mengatakan 'siapa suruh kau mengucapkan kata laknat itu!'
"Memang benar kan kalau kau itu ratu imajinasi." Ejeknya setelah mengerti arti tatapanku.
Aku hanya mendengus kesal dan beralih menatap Anna yang sedari tadi hanya memperhatikan kami dalam diam. Ckckckck, dia itu memang benar-benar ratu ice. Kalian pasti heran kenapa aku mengatakan dia itu ratu ice. Kenapa? Karena Anna adalah manusia yang paling jarang bicara diantara kami berempat. Bayangkan saja! Anna hanya akan bicara jika menurutnya hal itu memang harus diucapkan. Jika tidak? Jangan harap kalian bisa mendengar suaranya!
"Kok kamu bisa berangkat sama si ratu irit sih, An?!" Tanyaku tak senang. Eits, jangan slah sangka dulu. aku kesal karena Helena yang mengatai aku ratu imajinasi bukannya karna cemburu seperti yang kalian kira.
"Iya tadi aku berangkat dari rumahnya." Jawabnya datar.
Aku hanya ber'O' ria dan mereka berdua beranjak duduk ke tempat mereka masing-masing. Dan selanjutnya, tentu saja kami mulai berbaur membicarakan hal-hal penting sampai tidak penting lainya. Sangat wanita! Tapi aku senang mempunyai mereka disekelilingku.
Awalnya kami hanya orang asing tak saling kenal, namun mungkin apa yang orang katakan itu benar, Bahwa takdir sudah menentukan jalan bagi setiap manusia. Dan... Disinilah kami berempat. Menjadi sahabat yang tak terpisahkan meskipun perbedaan sering menjadi penghalang untuk kami, namun kami tetap sahabat. Ya! SAHABAT! FOREVER!
Dan setelah inilah kalian akan melihat apa arti sahabat, cinta dan keluarga bagi kami. Segala sesuatu yang manis di dalam belum tentu manis di luar. Dan semua yang terlihat indah di luar belum tentu indah di dalam. Bagai hukum alam yang tak bisa dihindari. Kami, Aku-Luciana William, Allicia Steward, Helena Miller, dan Annastasia Friedy akan mengajarkan kalian betapa hidup dan takdir dapat mempermainkan kalian dalam satu jentikan jari saja. Dan akulah yang akan menjadi penulis setia bagi kalian.
Well, cerita yang sebenarnya akan segera dimulai.....
**********************************************************************************************************************************
Hai readers,
Well, ini pertama kalinya saya berani meng-update cerita saya di blog pribadi saya. Biasanya saya hanya akan mem-post cerita ini di salah satu Website kumpulan para penulis yaitu WATTPAD. Tapi kali ini saya mencoba untuk berbagi sedikit tentang tulisan saya. Maka dari itu saya mengundang pembaca agar datang langsung ke dalam cerita saya di http://www.wattpad.com/16025127-friend-love-and-family atau cerita lainnya yang saya punya yaitu http://www.wattpad.com/6662309-stupid-boy agar kalian dapat membaca kelanjutan dari cerita di atas. Saya berharap kedua cerita ini dapat disukai oleh kalian walaupun masih dalam proses penyelesaian dan sayapun masih amatir dalam hal menulis. Dan sedikit bocoran yah... Saya berminat mem-post tulisan pertama saya yang saya tulis secara langsung dengan tangan saya untuk pertama kalinya. Tapi itu nanti kalo sudah benar-benar lolos dari editor saya yang cantik dan juga sesama penulis wattpad. Dan kemungkinan cerita ini akan lebih cepat selesai dari kedua cerita di atas karena hanya tinggal pengetikan saja dan lagi-lagi menunggu editor cantik saya. Hohoho :D
So, jangan lupa datang yah!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar