Sabtu, 09 Mei 2015

HUKUM DAGANG

A.  HUKUM DAGANG (KUHD)
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan.
Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya, ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
·         Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a.  Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b.   Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW) 2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
B.  LATAR BELAKANG HUKUM DAGANG DI DUNIA
Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) . tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi.
C.   TUJUAN HUKUM DAGANG
Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”. Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari:
1.   Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3.   Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4.  Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6.   Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain.
D.  PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG
Transaksi perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa perdagangan internasional  membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian yang disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena itu permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional dilakukan?
1.   World Trade Organization (WTO)
WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tarif dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
a.Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan
b.  Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.
2.   Ketentuan dalam Perjanjian-Perjanjian WTO
A.  The General Agreement on Tariffs and Trade
a.   Pasal I dan III: Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured nation (MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan peraturan domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk. Prinsip kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.
b.   Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.               
c.   Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan dengan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1.   Keperluan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir b);
2.   Berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat secara efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g).
B.  The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.
3.   Penyelesaian Sengketa dalam WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu:
a.   The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII;
b.  The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979;
c.   The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29 November 1982;
d.   The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.
WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1)  Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan sebuah Panel.
2)  Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding.
3)  Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4) Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.
Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:
a.Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya sendiri;
b.Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan
c.   Jika sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada tingkat paling rendah dalam mencapai tujuan perlindungan lingkungan.
4.   The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan dan tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan tanaman, hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin dicapai oleh mayoritas negara-negara adalah dari:
a.   Resiko yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang masuk ke dalam wilayah negaranya bersama produk-produk yang diperdagangkan; dan
b.   Resiko dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan dalam bahan makanan, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan ini juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut dapat dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang sudah berlaku secara internasional.
E.   FORUM PENYELESAIAN SENGKETA
1.   Negosiasi
Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
2.   Mediasi
a.   Melalui pihak ketiga   Usulan-usulan penyelesaian informal
b.   A quick, cheap and effective result.
c.   Penyelesaian melalui mediasi tidak mengikat.
3.   Konsiliasi
a.   Konsiliasi lebih formal daripada mediasi
b.   Komisi konsiliasi
c.   Tahap tertulis dan lisan
4.   Arbitrase
a.   Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc).
b.   Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
·         kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan.
·       Sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
·  Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
· Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
·       Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Lampiran:
·         KTP


REFERENSI