A. HUKUM DAGANG
(KUHD)
Hukum dagang
ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang
lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus.
Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai
muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum
tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam
pergaulan di bidang perdagangan.
Ada beberapa hal
yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus).
Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex
generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum
Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
·
Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b.
Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW) 2)
Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus
yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T.
Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum
dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian.
B. LATAR BELAKANG
HUKUM DAGANG DI DUNIA
Perkembangan
hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/
1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di
Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan
(Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .
tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat
menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di
samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang
berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya
mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum
pedagang ini bersifat unifikasi.
C. TUJUAN HUKUM
DAGANG
Keterangan yang
telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu melekat pada
manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi:
“menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul”. Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat
dapat terdiri dari:
1.
Sebagai alat
pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala
sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki
sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan,
dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa
agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3.
Sebagai sarana
penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan
atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat
untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Sebagai penentuan
alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan
(penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang
tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat
penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera
selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6.
Memelihara
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang
berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara
anggota-anggota masyarakat.
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri,
sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada.
Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum
juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain.
D. PENYELESAIAN
SENGKETA DAGANG
Transaksi perdagangan internasional
yang berpotensi menimbulkan sengketa perdagangan internasional membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian yang
disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena
itu permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk
penyelesaian sengketa perdagangan internasional dilakukan?
1.
World Trade Organization (WTO)
WTO (World Trade Organization) merupakan
sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO
bertujuan untuk mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk,
sebuah perjanjian mengenai tarif dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun
1947 yang disebut dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT
merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan
dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
a.Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan
dan menghapuskan tarif, dan
b. Membuat kewajiban untuk mencegah atau
menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring
perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap
Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993,
diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan
multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri
dari: The Ministerial Conference, The
General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The
Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.
2.
Ketentuan dalam Perjanjian-Perjanjian WTO
A. The General
Agreement on Tariffs and Trade
a.
Pasal I dan III: Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat dua prinsip utama
mengenai non-diskriminasi dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip
pertama adalah most-favoured nation
(MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala
bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara lain, maka
perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara peserta
GATT/WTO lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga
kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan formalitas
mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan peraturan
domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk. Prinsip
kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini
menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan diperlakukan
sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.
b.
Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan
(Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai
pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan
internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai pembatasan selain quota
impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor/impor
barang.
c.
Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting dalam
hal hubungan antara perdagangan dengan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua
pengecualian dalam perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1. Keperluan untuk melindungi kehidupan manusia,
hewan atau tanaman...(butir b);
2. Berhubungan dengan konservasi sumber daya alam
yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat secara efektif dalam hubungan dengan
pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g).
B. The
Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur mengenai
batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan dalam perdagangan
internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui
bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan standar teknis suatu
barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya masing-masing, dan mengatur
agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu terhadap
perdagangan internasional.
3.
Penyelesaian Sengketa dalam WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para
pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang
diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini
mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi
antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap
mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai
perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu:
b. The Understanding on Notification,
Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979;
c. The Decision on Dispute Settlement,
dalam Ministerial Declaration of 29 November 1982;
d. The Decision on Dispute Settlement of
30 November 1984.
Perubahan
yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah
ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute
Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah
mekanisme baru, yaitu panel reports
(laporan panel), dimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui panel
ini, jika metode konsultasi tidak berhasil. Laporan panel ini diberikan dan
diputuskan oleh GATT Council.
WTO
kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute
Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding
on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi
pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap,
yaitu:
1) Konsultasi
(Consultation)
Para peserta diwajibkan untuk
menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari
tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan
sebuah Panel.
2) Panel
(The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam
memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan
memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah
panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau
adanya upaya banding.
3) Banding
(Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body
(yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body dapat
memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam
laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4) Pengawasan
dari Pelaksanaan (Surveillance on
Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, harus
melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota
tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada
umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati
sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang
menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk
sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.
Butir b
mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi
syarat ini, maka negara diharuskan:
a.Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk
melindungi lingkungannya sendiri;
b.Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan
dengan perdagangan dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan
c. Jika sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan
dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan
perdagangan pada tingkat paling rendah dalam mencapai tujuan perlindungan
lingkungan.
4.
The Agreement on the Application of Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-standar yang
dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan dan tumbuhan dari bahaya-bahaya
tertentu yang tercipta akibat perpindahan tanaman, hewan dan bahan makanan
dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin dicapai oleh mayoritas negara-negara
adalah dari:
a. Resiko yang berasal dari hama, penyakit, dan
organisme pembawa penyakit yang masuk ke dalam wilayah negaranya bersama
produk-produk yang diperdagangkan; dan
b. Resiko dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan
herbisida, racun, obat untuk hewan dalam bahan makanan, minuman atau pakan
hewan.
Kesepakatan ini
juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut dapat
dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang sudah
berlaku secara internasional.
E. FORUM PENYELESAIAN SENGKETA
1.
Negosiasi
Kohona
mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling
disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at
conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan
utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama,
manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang
lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk
menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi
untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan
kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan
waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul
di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan
batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi
ini
Kelemahan
ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan
ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
2.
Mediasi
a. Melalui
pihak ketiga Usulan-usulan penyelesaian
informal
b. A quick,
cheap and effective result.
c. Penyelesaian
melalui mediasi tidak mengikat.
3.
Konsiliasi
a. Konsiliasi
lebih formal daripada mediasi
b. Komisi
konsiliasi
c. Tahap
tertulis dan lisan
4.
Arbitrase
a. Arbitrase
adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad
hoc).
b. Adapun
alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai
berikut:
·
kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat
daripada proses berperkara melalui pengadilan.
· Sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai
persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
· Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak
memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka
netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
· Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah
dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan
dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
· Dalam hal arbitrase internasional, putusan
arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan
apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat
dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan
kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau
melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum
sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Lampiran:
·
KTP
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar